Dari Kebun Sawit Siap Panen Hingga Sarang Walet Milik Warga Tepian Langsat Bengalon, Digusur PT MKC Tanpa Ganti Rugi

Sangatta, Metrokaltim.com – Kasus sengketa lahan antarawarga Desa Tepian Langsat Kecamatan Bengalon, Kabupaten Kutai Timur (Kutim) dengan perusahaan PT Multi Kusuma Cemerlang (MKC) terus menjadi perhatian anggota DPRD Kutim.
Rapat yang digelar pada Kamis (28/11) dengan mempertemukan kedua belah pihak yang bersengketa baik dari warga Desa Tepian Langsat maupun dari pihak PT MKC sempat berlangsung.
Rapat di pimpin Wakil Ketua II Arpan,SE, Ketua Fraksi (B) Faisal, Ketua Fraksi (C) Adi, Wakil Ketua Fraksi (C) Masdari Kidang, Komisi (B) Basti, Dr Novel, Pitter Palinggi dan Uce Prasetio, dalam rapat haering tersebut membahas kerugian masyarakat yang di serobot lahannya oleh pihak PT MKC. Begitu banyak kerugian yang di derita masyarakat, bahkan tak hanya lahan sawit yang sudah mau panen di gusur, akan tetapi sarang burung walet serta sepuluh kepala keluarga ikut di gusur tampa penjelasan ganti rugi.
Perwakilan tokoh masyarakat dan salah satu korban penggusuran lahan H Zait Syarifudin mengatakan bahwa kejadian ini sudah berlangsung dari tahun 2017 hingga sekarang, dan bahkan tidak ada penyelesaian. Pihak perusahaan diduga menyewa para preman untuk mengusir warga yang mempertahankan lahan, dan rumah yang sudah mereka tinggali bertahun – tahun.
“Bahkan di lahan milik orang tua saya H Syafaruddin sudah terbangun pesantren yang di tinggali santri untuk belajar ilmu agama ,itu pun sudah di ambil paksa oleh perusahaan PT MKC,” ungkap Zait.

H Zait juga menjelaskan, orangtuanya H Syafaruddin sempat di sidang atas lahan milik sendiri dan dimenangkan oleh pihak perusahan.
“Kami pun banding ke Samarinda dan terakhir kami mau banding ke Mahkama Agung di Jakarta, baru di Balikpapan saya langsung di hubungi lewat telpon oleh pengacara PT MKC bernama Ostage Kastibako meminta berdamai dan tutup buku tentang masalah lahan tersebut,” bebernya.
H Zait juga menerangkan bahwa orangtuanya meminta perjanjian, yang mana pihak perusahan menolaknya dengan cara berkirim pernyataan lewat bertukar foto lewat handphone.
“Berselang beberapa hari datang lah seorang utusan dari pihak perusahaan bernama Tobiasdangga alias Sahrul ke kebun kami dengan mengajak pertemuan yang di sebuah warung Bengalon. Pertemuan waktu itu di hadiri juga pihak staff perusahaan PT MKC pak Dedi dan pak Ishak,” tegasnya.
“Status tanah waktu di beli oleh H Syafaruddin adalah tanah kelompok tani dari pemiliknya Ambo Dalle seluas 300 hektare, tapi hanya 135 hektare yang di miliki oleh keluarga kami, sisa lahan tersebut sudah di tanami oleh pihak perusahaan, lahan tersebut sudah berstatus PPHT yang mana kepala desa Ridwan dan Camat Mushaq,SE yang menandatangani surat PPHT lahan tersebut,” terang H Zait.

Penjelasan dari pihak perusahaan PT MKC yang di wakili oleh Manejer dan tim operasional, Dedi mengatakan bahwa pihak nya sudah menjalankan sistem tali Amasih.
“Dan kami mematuhi keputusan Pengadilan Negeri untuk menjalankan penggusuran lahan tersebut yang luasnya 600 hektar, dan saya tidak bisa memutuskan agar kegiatan tersebut di hentikan sementara, karena yang berhak memutuskan Manejemen di Jakarta,” ucap Dedi dalam rapat.
Mendengar penjelasan kedua belah pihak Faisal Ketua Komisi (B), meminta pihak perusahaan melaporkan ke pusat agar menghentikan kegiatan untuk membuka lahan sampai tim yang di bentuk DPRD dan dinas pemerintahan yang tekait turun.
“Agar bisa menemukan jalan keluar terbaik dari permasalahan lahan tersebut, saya juga mau bertanya kenapa luas lahan yang tadinya 600 hektar kenapa bisa menjadi 700 hektar lebih,” timpal Faisal.
Pihak perusahaan di wakili Dedi bersikeras kalau yang mereka gusur tetap 600 hektar dan lahan itu sudah di bebaskan atau dibayar. Tak hanya itu terkuat juga di dalam ruang rapat bahwa pihak perusahaan diduga mrnggunkan jasa preman untuk menghadang masyarakat yang mempertahankan lahannya. Selain itu ada bukti dari masyarakat yang digusur lahannya belum mendapatkan adanya pembayaran ganyi rugi sama sekali.
Apa yang diungkapkan oleh warga itulah yang membuat rapat haering tegang dan memanas, hingga pada akhirnya pihak perusahaan meninggalkan sidang diam – diam.
(rina/riyan)
