Perppu Nomor 2 Tahun 2022 Tentang Cipta Kerja berpotensi menghilangkan Kepastian Hukum Para Pencari Keadilan
Penulis : M. Rizal Fadillah S.H., M.H. C. L. A
BALIKPAPAN, Metrokaltim. com – Lex Semper Dabit Remedium, berarti hukum harus selalu memberikan solusi. Berdasarkan adagium tersebut sudah seharusnya setiap aturan hukum yang dibuat meghadirkan sebuah kepastian hukum untuk menjamin hak konstitusional Warga Negara. Sejak Mahkamah Konstitusi melalui Putusannya Nomor 91/PUU-XVII/2020 menyatakan UU Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja (“Undang-undang Cipta Kerja”) Cacat Formil dan Inkonstitusional secara bersayarat dengan memberikan waktu 2 (dua) tahun kepada pembentuk undang-undang untuk melakukan perbaikan sejak putusan Mahakamah Konstitusi diucapkan, belum genap 2 (dua) tahun di penghujung akhir tahun 2022 Pemerintah menerbitkan Perppu Nomor 2 Tahun 2022 Tentang Cipta Kerja (“Perppu Cipta Kerja”).
Dalam hal ini saya tidak membahas materi dari isi Perppu Cipta Kerja, melainkan dengan membatasi pembahasan terkait Kepastian Hukum Putusan Mahkamah Konsitusi pasca terbitnya Perppu Cipta Kerja. Bahwa dengan terbitnya Perppu Cipta Kerja tersebut Pemerintah telah mencederai Putusan Mahkamah Konstitusi dan terkesan menjadikan suatu jawaban perlawanan terhadap Putusan Mahakamah Konsitusi Nomor MK 91/PUU-XVII/2020, sebagaimana dijelaskan dalam BAB XV Ketentuan Penutup Perppu Cipta Kejar Pasal 185 menyatakan “Dengan berlakunya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku”.
Yang dimana bahwa kita mengetahui bersama dalam pertimbangan hukum putusan Mahakamah Konstitusi Nomor MK 91/PUU-XVII/2020 memerlukan partisipasi publik dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sebagai bentuk pemenuhan Asas Keterbukaan atau syarat formil sebagaimana dimaskud dalam UU Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (“UU P3”) yang dimana hal tersebut tidak terlepas untuk menjalankan amanat dari Pasal 22A Undang-Undang Dasar 1945.
Adapun alasan Pemerintah menerbitkan Perppu Ciptaker tersebut sebagaimana dijelaskan dalam huruf h konsiderannya, yaitu karena adanya kegentingan yang memaksa. Apabila kita memperhatikan parameter secara yuridis bahwa konteks kegentingan yang memaksa berdasarkan pertimbangan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU-VII/2009, harus memenuhi 3 (tiga) syarat, yaitu:
1. Adanya keadaan yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan undang-undang;
2. Undang-undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga menjadi kekosongan hukum, atau ada undang-undang tetapi tidak memadai;
3. Kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat undang-undang secara prosedur biasa, karena akan memerlukan waktu yang cukup lama sedangkan keadaan mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan.
Berdasarkan 3 (tiga) syarat tersebut diatas, sudah seharusnya secara fakta dan aktual kegentingan yang memaksa tidak dapat dijadikan alasan saat ini oleh Pemerintah, sebagai contoh jika kita bandingkan betapa cepatnya Pemerintah dalam membentuk UU Nomor 3 Tahun 2022 Tentang Ibu Kota Negara meliputi 3 Peraturan Pelaksananya, kemudian dengan inkonstitusional bersyaratnya UU Cipta Kerja masih berlaku dengan 11 Cluster Pengaturan, 45 Peraturan Pemerintah dan 4 Peraturan Presiden. Seharusnya Pemerintah lebih baik patuh terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi dengan segera melaksanakan perbaikan terhadap UU Cipta Kerja sesuai dengan waktu yang diberikan Mahakamah Konstitusi dalam putusannya terkait UU Cipta Kerja, bukan menjawabnya dengan menerbitkan Perppu Cipta Kerja yang dalam pembentukannya tidak diperlukan partisipasi publik dan Konstruksinya juga kurang lebih sama dengan UU Cipta Kerja dan terdapat juga ambiguitas dalam Pasal 184 huruf b Perppu Cipta Kerja, yang secara tidak langsung masih mengakui adanya UU Cipta Kerja dengan memberlakukan peraturan pelaksananya secara bersyarat, sehingga ada kesan Pemerintah “mengakali” Putusan Mahkamah Konsitusi yang bersifat final and binding, dimana hal ini berpotensi akan menjadi preseden buruk terhadap moralitas konstitusional dikemudian hari dan berpotensi menghilangkan kepastian hukum para pencari keadilan di Mahkamah Konstitusi. (MK).
230