Penyempurnaan Aturan Anti-SLAPP Resmi Disahkan

Foto :M. Rizal Fadillah, S.H., M.H. C.L.A../ Advokat & Legal Auditor

BALIKPAPAN, Metrokaltim.com Reechstaat adalah sebuah “negara konstitusional” yang membatasi kekuasaan pemerintah dengan hukum. Dalam konstitusinya Negara kita menjamin hak asasi bagi setiap orang, diantaranya terhadap jaminan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagaimana secara eksplisit dijelaskan dalam Pasal 28H Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Pasal 9 angka (3) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

Pengertian Anti-SLAPP & SLAPP

Anti-SLAPP (Anti Strategic Lawsuit Againts Public Partisipation) adalah suatu konsep yang menjamin perlindungan hukum masyarakat agar tidak dapat dituntut secara pidana maupun digugat secara perdata dalam rangka memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Anti-SLAPP bukan merupakan suatu paradigma baru dalam perkembangan hukum di Indonesia. Adapun penjelasan SLAPP (Strategic Lawsuit Against Public Participation) dapat diartikan merupakan gugatan yang dilakukan oleh pihak yang berkuasa untuk menghentikan partisipasi public, dimana gugatan ini biasanya dilakukan oleh korporasi, pejabat publik, atau pelaku bisnis terhadap individu atau organisasi non-pemerintah.

Tidak efektifnya Aturan Hukum di Indonesia terhadap konsep Anti-SLAPP

Sebagai bentuk manifestasi dari kebijakan Anti-SLAPP, sejak tahun 2009 telah diatur berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (“UU 32/2009”). Merujuk pada Pasal 66 UU 32/2009 yang berbunyi “setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak dapat dituntut secara pidana maupun digugat secara perdata.” Kemudian selain aturan tersebut dalam penanganan perkara lingkungan hidup Mahkamah Agung RI menerbitkan Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung Nomor 36/KMA/SK/II/2013 yang menjadi pedoman bagi hakim dalam menangani perkara lingkungan termasuk perkara SLAPP.

Dalam pelakasanaannya UU 32/2009 dan Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung tersebut belum cukup efektif dalam menangani permasalahan yang terjadi terhadap pembela HAM di sektor lingkungan masih menimbulkan berbagai celah hukum yang melemahkan sehingga tidak sedikit dihadapkan dengan pihak-pihak yang melakukan SLAPP. Menurut laporan Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) ada sekitar 120 orang pembela HAM sektor lingkungan yang menjadi korban kriminalisasi pada tahun 2020 yang tidak menutup kemungkinan akan terus bertambah sampai dengan saat ini.

Berdasarkan Undang-undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang (“UU 6/2023”) yang sebagaimana secara substansi telah mengubah terhadap sebagian UU 32/2009, dimana secara faktual UU 6/2023 tetap mempertahankan ketentuan Pasal 66 UU 32/2009, dan kembali lagi dalam penerapannya aturan tersebut belum dapat berjalan dengan sempurna sehingga masih banyak menimbulkan ketidakpastian hukum terhadap pihak-pihak atau orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.

Penyempurnaan Aturan Hukum terhadap konsep Anti-SLAPP

Dengan masih banyaknya kriminalisasi terhadap orang/individu yang berjuang di bidang lingkungan hidup serta tidak efektifnya penerapan hukum dalam pelaksanaan konsep Anti-SLAPP berdasarkan UU 32/2009 jo. UU 6/2023, sehingga saat ini masih menimbulkan ketidakpastian hukum, maka hal tersebut menjadikan Ratio Legis bagi pemerintah untuk melakukan penyempurnaan aturan terhadap konsep Anti-SLAPP di Indonesia melalui Menteri Lingkungan Hidup yang telah menerbitkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 10 Tahun 2024 tentang Pelindungan Hukum Terhadap Orang yang Memperjuangkan Hak Atas Lingkungan Hidup yang Baik dan Sehat (“Permen LHK 10/2024”) yang berlaku sejak sejak 30 Agustus 2024.

Bahwa dalam Permen LHK 10/2024 terdapat poin-poin penting yang secara khusus membahas perlindungan hukum bagi orang/individu yang memperjuangkan lingkungan hidup. Adapun ringkasan mengenai berbagai masalah yang diatur dalam kerangka Permen LHK 10/2024,khususnya yang terkait dengan hal-hal berikut:

  1. Pelindungan bagi orang/individu yang memperjuangkan hak warga negara untuk menikmati lingkungan yang baik dan sehat: Cakupan Penerapannya;
  2. Tindakan Pembalasan; dan
  3. Pelindungan Hukum: Jenis dan Mekanisme Untuk Mendapatkannya.

Pelindungan bagi orang/individu yang memperjuangkan hak warga negara untuk menikmati lingkungan yang baik dan sehat: Cakupan Penerapannya

Kerangka dalam Permen LHK 10/2024 secara eksplisit menjelaskan orang/individu yang memperjuangkan hak warga negara untuk menikmati lingkungan yang baik dan sehat (“orang yang memperjuangkan lingkungan hidup”) tidak dapat dituntut secara pidana maupun perdata. Sebagaimana dijelaskan pihak-pihak yang termasuk dalam pengertian orang yang memperjuangkan lingkungan hidup, beserta berbagai jenis kegiatannya sebagaimana berikut:

  1. Berdasarkan Pasal 2 ayat (2) Permen LHK 10/2024, bahwa orang/pihak-pihak yang dimaksud memperjuangkan lingkungan hidup meliputi:
  2. orang perseorangan;
  3. Kelompok orang;
  4. Organisasi lingkungan hidup;
  5. Akademisi atau ahli;
  6. Masyarakat hukum adat;
  7. Badan usaha.
  • Berdasarkan Pasal 3 Permen LHK 10/2024, bahwa yang dimaksud dengan kegiatan memperjuangkan lingkungan hidup diantaranya:
  • melakukan peran aktif dalam penyelenggaraan pendidikan, pelindungan, dan pengelolaan lingkungan hidup;
  • mengembangkan dan menjaga budaya dan kearifan lokal dalam rangka pelestarian fungsi lingkungan hidup;
  • mencari, memperoleh, dan memberikan informasi adanya dugaan telah terjadi pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup;
  • mengajukan usul, pendapat, dan/atau keberatan secara lisan maupun tertulis kepada instansi pemerintah pusat atau pemerintah daerah terhadap rencana usaha dan/atau kegiatan yang diduga dapat menimbulkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup;
  • melakukan pengaduan akibat dugaan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup;
  • menyampaikan pendapat di muka umum yang menolak keberadaan rencana usaha dan/atau kegiatan, menolak rencana usaha dan/atau kegiatan yang sudah beroperasi yang diduga dapat atau telah menimbulkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup;
  • melakukan advokasi kepada masyarakat terhadap dugaan terjadinya pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup yang diakibatkan suatu usaha dan/atau kegiatan;

Perlu digarisbawahi bahwa tindakan yang dilakukan oleh orang yang memperjuangkan lingkungan hidup harus dilakukan sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku, dengan tetap memperhatikan kemandirian pengadilan.

Tindakan Pembalasan & Bentuk Perlindungan Hukum

Berdasarkan Permen LHK 10/2024, orang yang memperjuangkan lingkungan hidup dapat dihadapkan dengan berbagai tindakan pembalasan yang dilakukan oleh pihak yang diduga melakukan pencemarandan/atau kerusakan lingkungan hidup). Berdasarkan Pasal 5 Permen LHK 10/2024 menguraikan berbagai tindakan yang didefinisikan sebagai tindakan pembalasan, sebagai berikut:

  1. Melemahkan upaya dan partisipasi publik: Bentuk tindakan pembalasan ini dapat berupa ancaman tertulis atau lisan, kriminalisasi dan/atau tindakan kekerasan fisik atau psikologis yang dapat membahayakan orang yang memperjuangkan lingkungan hidup, mental dan/atau aset mereka, termasuk keluarganya;
  2. SOMASI;
  3. Prosedur Pidana: a. Pengajuan laporan dugaan tindak pidana terhadap Aktivis Hak

           Lingkungan Hidup;dan/atau;

       b. Tuntutan pidana.

  • Gugatan perdata: Bentuk tindakan pembalasan ini mengharuskan orang yang memperjuangkan lingkungan hidup untuk membayar kompensasi dalam jumlah tertentu.

Dalam Pasal 6 ayat Permen LHK 10/2024 telah menguraikan dua jenis pelindungan hukum yang dapat digunakan oleh orang yang memperjuangkan lingkungan hidup, khususnya pencegahan tindakan pembalasan dan berbagai mekanisme penanganan.

Point of View

Meskipun dalam pemberian imunitas hukum bagi orang yang memperjuangkan lingkungan hidup bukanlah sebuah konsep yang baru, dimana sebelumnya diatur dalam UU 32/2009 jo. UU 6/2023, diterbitkannya Permen LHK 10/2024 merupakan terobosan hukum yang signifikan dalam rangka memenuhi perlindungan hukum kepada orang yang memperjuangkan lingkungan hidup dengan lebih lanjut mendefinisikan cakupan penerapannya, serta merinci berbagai bentuk tindakan pembalasan dan menguraikan jenis pelindungan hukum spesifik yang tersedia. Namun perlu digarisbawahi bahwa perlindungan hukum apapun yang pada akhirnya diinisiasi akan didasarkan pada penilaian permohonan yang diajukan oleh pihak-pihak terkait tanpa adanya jaminan penerimaan mutlak, Permen LHK 10/2024 masih dianggap sebagai langkah progresif untuk melindungi upaya para orang yang memperjuangkan lingkungan hidup.

Penulis          : M. Rizal Fadillah, S.H., M.H. C.L.A.

478

Leave a Reply

Your email address will not be published.