Tak Terima Didakwa Penggelapan Sertifikat Tanah, Notaris asal Balikpapan Lapor Presiden
Balikpapan, Metrokaltim.com – Seorang terdakwa sekaligus notaris di Balikpapan, Arifin Samuel Candra, melapor ke Presiden Joko Widodo. Dia tak terima dituduh menggelapkan sertifikat tanah hingga ia harus duduk di kursi pesakitan.
Kepada awak media, Arifin menceritakan awal mula kasus ini terjadi. Semua ini berawal ketika ia menjadi pengacara seorang pengusaha berinisial J, beberapa tahun silam. Kala itu, J bersengketa perdata dengan rekan bisnisnya sesama pengusaha, inisial AHR.
AHR kemudian menitipkan tiga sertifikat hak guna bangunan (HGB) kepada Arifin. Tiga sertifikat itu diserahkan pada Desember 2016 dan Januari 2017. Penitipan ini dilakukan untuk pembuatan akte jual beli (AJB) tanah atau balik nama, dari AHR menjadi J.
Dalam penitipan ini, Arifin juga bertugas membuatkan akte perikatan jual beli dan kuasa menjual kepada AHR, guna keperluan modal usaha perusahaan yang didirikan bersama AHR dan J. Tidak lama kemudian, tiga AJB yang dipesan rampung. Namun, dikemudian hari, AJB itu dianulir.
“Karena ada perselisihan antara AHR dan J, jadi tidak jadi di balik nama. Sertifikat AJB yang saya keluarkan juga dibatalkan pengadilan,” kata Arifin, Minggu (19/1) siang.
Dijelaskannya, perselisihan ini terjadi dua tahun lalu. Ketika itu, AHR mengugat tiga AJB yang dibuat Arifin itu. Gugatan ini dimenangkan AHR. Dari tiga AJB yang dibatalkan pengadilan, dua di antaranya sudah inkrah. Oleh karena itulah, Arifin selaku notaris, tidak menyerahkan AJB itu kepada J, namun dikembalikan ke AHR.
“Putusan pembatalan AJB itu dikeluarkan PN Balikpapan pada 2018 dan dikuatkan putusan Pengadilan Tinggi Samarinda pada 2019 yang tidak dapat menerima permohonan banding dari klien J,” urai warga Kelurahan Mekar Sari, Balikpapan Tengah, itu.
Mengetahui Arifin menyerahkan AJB kepada AHR, membuat J murka. Puncaknya terjadi pada pertengahan Maret 2018. Saat itu, J melaporkan Arifin ke Mabes Polri. Sebulan kemudian, kantor Arifin digeledah oleh penyidik Bareskrim.
Penyidik pun membawa pria berkacamata itu ke Jakarta untuk menjalani pemeriksaan lebih lanjut. “Kemudian saya ditahan selama 21 hari,” bebernya.
Arifin mengungkapkan, kasus yang membelitnya ini terdapat banyak kejanggalan. Seperti proses penyilikan terhadap dirinya. Hingga saat ini, ia tidak pernah menerima Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP).
Selain itu soal penetapan tersangka. Dia mengakun baru mengetahui dirinya menjadi tersangka setahun setelahn berjalannya laporan. Oleh karena itu, Arifin merasa menjadi korban kriminalisasi.
“Saya tidak merasa melakukan yang dituduhkan ke saya ini, penggelapan sertifikat Pasal 372 KUHP. Kasus ini menjadi beban saya bersama keluarga. Kasus ini sudah menyeret saya dan sudah dituntut 4 tahun di PN Balikpapan,” ungkapnya.
Kini Arifin menjadi tahanan rumah. Dia sudah hampir frustrasi mencari keadilan atas kasus yang membelitnya ini. Oleh karena itu, ia telah bersurat kepada Presiden Joko Widodo untuk memohon keadilan. Arifin merasa, hanya Presiden yang mampu melihat siapa yang salah dalam kasus ini.
Melaporkan kasus ini kepada orang nomor satu di Indonesia itu bukan tanpa dasar. Arifin menerangkan, laporan ini berdasarkan surat edaran Kejaksaan Agung Republik Indonesia bernomor B-230/E/Ejp/01/2013 dan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1956.
“Saya tidak tahu lagi minta keadilan sama siapa? Karena saya diarahkan salah. Kalau saya salah, dihukum saya terima. Kalau saya tidak salah tapi dihukum, saya tidak terima itu. Jadi saya minta kalau bisa itu sampai ke Presiden, biar bisa menilai apakah kasus ini saya bersalah atau tidak,” pungkasnya.
(Idris)
178